SATU JAM SUDAH BERLALU, namun Partomuan masih tetap duduk sendirian di atas salah satu batu besar di tepi Batang Gadis. Peluh yang sedari tadi membasahi keningnya pun sudah mulai mengering disapu semilir angin yang berhembus dari seberang sungai. Yang tampak masih basah adalah ujung celana yang ia pakai tadi sewaktu membantu ayahnya menyiangi rumput di sawah mereka yang tidak seberapa luas.
Dari atas batu besar tempat ia duduk itu telah pula berkali-kali tali pancingnya ia lemparkan ke tengah sungai, tapi sepertinya tak sekor ikan pun tertarik dengan umpan pancingnya. Lalu ia ingin pindah posisi ke dekat pohon "gala-gala". "Siapa tau ikan-ikan di situ tidak terganggu oleh suara "galundung" yang meraung menjerit-jerit memekakkan telinga", ia bergumam pada dirinya sendiri.
Belum sempat ia beranjak dari atas batu, tiba-tiba suara ayahnya dari tengah sawah sana mengagetkan Partomuan.
"Eh… Muan, adanya ikan-ikan itu makan umpan pancingmu?". Teriak ayahnya.
"Tak ada seekor ikan pun ayah", Partomuan menyahut sekenanya.
" Alaaah, itu bukan karena kau tak pandai lagi memancing, tapi karena suara-suara "galundung" sialan itu, makanya ikan-ikan itu kabur, tak betah lagi berdiam diri di sungai ini", katanya ayahnya yang semakin dekat dengan anaknya itu.
Partomuan sudah banyak mendengar cerita-cerita dari kawan-kawannya yang baru pulang dari kampung. Seperti cerita dari Hamonangan anak "amangboru"nya yang baru saja datang dan ingin melanjutkan sekolah di Yogyakarta, bahwa di kampung mereka sekarang ada "marga baru" yang membuat resah sebagian warga.
"Jangan abang pikir, di Mandailing Julu didominasi oleh marga Lubis dan Nasution saja", kata Hamonangan menambahkan.
"Marga baru ?", Partomuan bertanya sembari mengerjitkan keningnya.
"Ya, bang. "Marga Lundung", itulah marga yang baru itu", Partomuan sesaat terdiam.
"Sudahlah, kau gulung saja tali pancingmu", tiba-tiba ayahnya sudah berada disampingnya. Sebelum ayahnya menceburkan diri untuk mandi ke sungai, masih ia sempatkan merokok barang sebatang dua. Sigaret Lovely sudah menempel dibibirnya, asapnya mengepul-ngepul ke udara. Senang betul nampaknya ayah si Partomuan sore itu. Pakaiannya yang berlumpur telah dilepaskannya. Tampak dadanya yang bidang dibungkus oleh kulit yang agak legam karena terbakar mentari siang, menandakan ia seorang pekerja keras. Tak nampak sedikit gelambir lemakpun di perutnya, seperti orangtua seusianya yang tinggal di kota besar. Ia raba kembali saku celananya, sebatang rokok Lovely ia nyalakan, kembali asap mengepul-ngepul ke udara, mantap… !!!
"Mandilah kau duluan, Muan! Biar kita pulang, tak usah kau pikirkan lagi ikan-ikan itu lagi".
Lalu ayahnya berkata lagi: "Umakmu di rumah pasti sudah masak kesukaanmu, sambal baledang dan rebusan 'raum-rauman' ", ayahnya meyakinkan. Masih ingat betul rupanya ia kesukaan Partomuan waktu masih tinggal bersama beberapa tahun yang lalu, sebelum Muan diterima menjadi mahasiswa Teknik Lingkungan UVN Yogyakarta.
Belum juga ayahnya selesai bicara, Partomuan sudah menceburkan dirinya ke Lubuk Gala-gala. Sesaat Partomuan sudah tak tampak lagi, dia berenang bagai ikan dan sesekali ia menyembul menghirup udara segar, kemudian berenang lagi.
***
Tidak berapa jauh ke arah hulu, dekat rumpun bambu, di sebuah tapian mandi untuk perempuan, Roslaini sedari tadi diam-diam berenang-renang pula di dalam lubuk hatinya. Diam-diam ia mengagumi Partomuan "anak namboru"nya itu. Berkali-kali ia baca artikel yang ditulis Partomuan di media cetak tentang bahaya air raksa di Batang Gadis.
Dalam tulisannya, Partomuan menyampaikan betapa berbahayanya Galundung (alat pemisah batu dengan emas itu), karena menggunakan mercury (air raksa). Apalagi Batang Gadis dijadikan pula sebagai badan penerima zat berbahaya itu. "Galundung itu akan menimbulkan efek yang sangat buruk bagi keturunan anak cucu kita dikemudian hari", Partomuan menegaskan dalam tulisannya.
Makanan yang terkontaminasi dengan air raksa, dapat mengakibatkan kerusakan pada sistem saraf, ginjal, paru-paru dan janin walau dampaknya tersebut akan muncul 5 sampai 10 tahun mendatang.
Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila masyarakat yang hidup di sepanjang Batang Gadis yang memanfaatkannya sebagai air kehidupan, semua mengidap penyakit gatal-gatal dan cacat bayi yang baru lahir. Duh, sangat mengerikan sekali.
Pada kesempatan lain, Partomuan dalam artikelnya di koran Waspada mengajak untuk mengaplikasikan PODA NA LIMA ("ajaran yang lima"). Salah satunya "Paias Pakaranganmu!!!" Ya… kita harus bersihkan lingkungan tempat kita hidup bersama". Pardomuan mengajak, mengajak masyarakat, mengajak pemerintah daerah, mengajak bapak-bapak dewan yang terhormat itu, ya…bapak-bapak anggota dewan yang terhormat itu.
Dalam batinnya, Roslaini berharap kelak suatu waktu ia akan menjumpai "anak namboru"nya itu. Roslaini ingin menjumpai pemuda yang peduli terhadap kampung halamannya. Pemuda lugu yang mereka "pabuat" dahulu sewaktu Partomuan mau berangkat ke Jawa. Pemuda yang rajin menulis artikel-artikel tentang lingkungan hidup itu, membuat Roslaini semakin kagum terhadap "anak namboru"nya. "Pasti pancaran kedewasaan sudah mulai tampak pada pemuda semester akhir itu", itulah yang terbersit dihati Roslaini sembari tersenyum, pusaran di kedua belah pipinya makin dalam, manis sekali.
Dua hari sejak Roslaini melihat Partomuan turun dari Bus ALS yang membawanya sampai di kampung tempo hari, belum sekalipun Partomuan menginjakkan kakinya di rumah "tulang"nya. Pagi-pagi sekali Partomuan sudah berangkat, untuk membantu ayahnya ke sawah. Lahan sawah yang sepetak itu harus segera mereka tanami dan baru sore hari mereka pulang ke rumah.
Akan halnya dengan Roslaini, ia pun tak jua kunjung mendatangi rumah "namboru"nya itu. Ia teramat sungkan. Apalagi setelah prahara itu menghampiri kedua keluarga itu. Jamangido, ayahnya Roslaini menjual habis harta warisan peninggalan "ompung"nya. Sedikitpun "namboru"nya Roslaini tidak mendapatkan bagiannya. Semua dihabiskan ayahnya di meja judi. Belum ada setahun, rumah warisan yang mereka tinggali tergadai pula sudah. Semenjak itu semakin rengganglah hubungan "umak"nya Partomuan dengan "tulang"nya -- ayah Roslaini. Kedua keluarga itupun sejak lama tak lagi bertegur sapa.
Dari prahara itu, yang menanggung derita adalah Roslaini. Ia tak leluasa lagi menginjakkan kakinya di rumah "namboru"nya. Padahal ingin sekali Rosliana mendengar cerita tentang Yogyakarta, tentang Kampus Biru, tentang Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tentang Malioboro, tentang gadis jawa yang kemayu. Duh… ia semakin tersiksa.
Hal itu menjadi pertanyaan besar pula kepada Partomuan. Kenapa "boru tulang"nya tak pernah pula memperlihatkan batang hidungnya. Padahal dahulu Roslaini kecil sering membawakan rantang berisi makanan untuk "namboru"nya.
***
Udara pagi yang dingin terasa membelai kulit. Matahari seperti masih malu-malu menampakkan keperkasaannnya. Partomuan menuruni tangga kayu rumahnya, dan rumah Roslaini menjadi tujuan. "Ah ha… rumah 'borutulang' ", ia bergumam pada dirinya sendiri. Di depan Mesjid At-Taqwa, Partomuan berbelok ke arah kiri, melalui jalan berbatu sampailah ia ke rumah "tulang"nya.
Tak ada angin, tak ada pula hujan. Seisi rumah kaget alang kepalang dengan kedatangan Portomuan. Tak disangka, tak pula dinyana, "babere" mereka masih mau menginjakkan kakinya di rumah mereka. Partomuan memperlihatkan "ias nibohi bontar ni ate-ate", Partomuan memperlihatkan budi pekerti yang baik. Sedikitpun tidak ia perlihatkan prahara yang menimpa keluarganya. Ia salam "tulang"nya, begitu pula "nantulang"nya. Sesaat mereka pun terdiam.
"Sehat do halak tulang dohot nantulang?" Partomuan coba cairkan suasana. "Alhamdulillah, sehat bere", "nantulang"nya yang menjawab.
"Adek Ros, kok ndak nampak, dimana kah dia?" Partomuan bertanya.
"Ois da…" ijia do langa si Ros?" Nantulangnya seperti bertanya kepada dirinya sendiri.
"Ooo... Ros !!" "nantulang"nya memanggil anak gadisnya.
Roslaini keluar dari balik tirai pembatas ruang depan dengan ruang tengah.
Oiiiii makkkkk… Roslaini telah tumbuh menjadi gadis nan cantik rupawan, Rosliana tumbuh menjadi kembangnya desa. Ia salam "anak namboru"nya itu. Terasa degup jantungnya makin kencang. Sesaat kedua anak muda itu saling tatap, mata beradu pandang, dari luar jendela terdengar burung "pandegarigit" berkicau menyanyikan kidung cinta.
***
Mentari sore di sebelah barat nampak merah jingga kekuning-kuningan, Iring-iringan kelelawar di langit dari arah utara menghitam menuju peraduannya di hutan dekat "Lubuk Jorbing", menandakan senja hari sudah menjelang. Hamparan padi yang baru selesai ditanam menghijau menyejukkan mata yang memandang.
Ayah dan umaknya Partomuan puas melihat hasil kerja mereka hari ini, walaupun hari ini pulang agak sore, tidak seperti biasanya. Kesempatan itu dipergunakan Partomuan duduk-duduk kembali di atas batu seperti hari-hari pertama ia di kampung.
Partomuan masih berharap barang seekor dua ikan-ikan di sungai itu memakan umpan pancingnya.
"Sudah lah Muan, sudah aku bilang tak ada lagi ikan di sungai ini, kalaupun masih ada sudah terkontaminasi dengan mercury sialan itu", ayahnya berteriak seperti biasanya.
"Ayo… kita pulang saja, hari sudah petang", kata ayahnya.
"Ayolah bang…", Roslaini mendekat bersama "namboru"nya. Rupanya "borutulang" dan umaknya telah selesai pula dari tapian pemandian perempuan yang di dekat rumpun bambu yang rimbun di tepi Batang Gadis.
Seperti mamahami perasaan kedua orang muda itu dan seperti memberi restu, ayah dan umak Partomuan pulang terlebih dahulu, kemudian dua sejoli itu mengikutinya dengan melangkah santai, sesekali mereka saling tersenyum dan penuh tatapan mesra.
Langit semakin memerah memantulkan cahayanya ke Batang Gadis, seperti lukisan alam adanya. Jalan berbatu yang mereka lewati, rumput-rumput liar yang tumbuh lebat di sisi kiri kanan jalan setapak itu, hamparan padi yang menghijau, pohon "gala-gala" yang tumbuh di tepi sungai, semuanya seakan-akan turut bersuka-cita menyaksikan sepasang kekasih yang sedang kasmaran itu mengikat janji sehidup dan semati. ]*[
Dipatiukur-Bandung, 6 Maret 2013
Banyak orang Mandailing yang mencemaskan
keberadaan tambang emas liar di Batang Gadis
yang menggunakan "galundung" (dengan
bantuan pelarut air raksa) sebagai alat
pemisah bebatuan dengan bijih-bijih
emas, yang akan berdampak buruk
terhadap ekosistem, termasuk
Tagor Lubis sebagai Putra Daerah
kelahiran Kotanopan.
bagus nih..klo diangkat ke layar lebar.
ReplyDeletesetuju, bro !!
ReplyDeletekayaknya mantap di jadikan film animasi
ReplyDelete