Tuesday, November 22, 2011

Ma ro da Ompung i sian dolok an









SUDAH hampir sebulan ini masyarakat di kecamatan Tanosere, kabupaten Mandaholing, dicekam ketakutan. Tidak ada anak-anak yang berkeliaran di luar rumah. Apalagi anak-anak yang bermain di pinggiran sawah. Lambaian padi yang menguning justru seolah menyimpan ancaman untuk mereka. Bunyi gesekan dedaunan yang ditiup angin bisa membuat mereka merinding. Begitu matahari mulai tenggelam, para ibu buru-buru menyuruh anak-anaknya masuk rumah dan menutup pintu rumah mereka rapat rapat. Demikian juga para lelaki di kampung tersebut. Warung kopi yang biasanya jadi tempat nongkrong dan bersosialisasi bapak-bapak ataupun pemuda mendadak sepi di malam hari. Maka tak heran bila si Puli, pemilik warung di ujung desa itu, lebih cepat menutup warungnya belakangan ini.


#1

Keadaan ini tidak lepas dari cerita yang berkembang belakangan ini. Dimulai dari cerita saat sepasang suami-istri, pedagang tembakau dari desa Tombang Tano,  hendak pergi berjualan ke pasar poken di desa sebelah. Seperti biasa, setelah sholat subuh mereka pun bersiap berangkat dengan menggunakan motor kesayangan mereka. Walaupun masih kredit, tapi motor tersebut sudah seperti  bagian dari keluarga itu. Bagaimana tidak, motor tersebut sangat membantu, membuat mobilitas mereka jadi jauh lebih cepat. Tidak perlu lagi mereka berlama lama menunggu angkutan desa yang kadang tidak jelas jadwal lewatnya, sementara mereka harus cepat sampai ke pasar poken untuk menyiapkan segala sesuatunya. Terkadang sang istri juga ikut berjualan sayuran. Pagi hari ia membeli sayuran dari petani dan menjualnya kembali kepada para langganan mereka. Untuk itu  itu mereka harus berangkat sepagi mungkin.

Seperti hari itu, pasar poken kali ini agak jauh dari tempat tinggal mereka. Dengan berboncengan, ditambah muatan sayuran dari hasil kebun yang hendak dijual, diperkirakan mereka butuh waktu sekitar satu jam di perjalanan, melewati dua desa sebelum sampai ke desa tempat adanya pasar pekan (poken) hari itu. Karena itu, meski pagi masih diselubungi gelap mereka sudah menapaki jalanan. Motor melaju dengan perlahan karena jalanannya lebih banyak bebatuan dibanding aspal.  Saat melintasi jalan antar desa, jalanan yang hanya dipagari hutan dan kebun, jauh dari pemukiman,  tiba-tiba sang istri mengusik senyapnya  perjalanan mereka.
“Ayah, apa tuh yang di depan sana?” bisik si istri di belakang telinga suaminya sambil menepuk pundak sang suami.
“Mana…?” Tanya si suami sambil mencoba meluruskan pandangannya ke depan. Maklum dengan kondisi  jalanan yang tidak bagus, dia lebih konsentrasi untuk menghindari lobang-lobang yang siap menerkam mereka, dia tidak begitu memperhatikan jauh ke depan.
“Itu, di depan”, kata sang istri sambil menunjuk ke depan, melewati belokan terakhir di depan mereka.
“Mana…?”, tanya sang suami lagi sambil mencari cari. Kebetulan di depan ada belokan sehingga pandangannya terhalang oleh tingginya rumput dan semak di pinggir jalan.
“Itu di depan sana, tadi saya melihat seolah olah ada yang turun dari atas tebing, mungkin tadi ada babi deh,” jawab si istri.
“Kalau begitu kakinya agak diangkat, ma..!” kata sang suami mengingatkan.

Tanpa harus dijelaskan lagi sang istri segera menaikkan kedua kakinya ke posisi lebih tinggi. Dia sudah paham maksud suaminya adalah untuk menghindari kemungkinan kakinya diseruduk babi. Kadang memang babi yang terluka atau ketika terusik oleh anjing pemburu sering nekat menyeruduk apapun yang ada di sekitarnya, termasuk manusia. Tidak jarang petani yang sedang bergelut dengan tanamannya tiba tiba diserang oleh babi yang terluka.

Dengan kewaspadaan tinggi sang suami mulai melewati belokan, dengan mata yang mencoba mengintip ke jalanan di depannya. Sesaat belokan terlampaui, pandangan merekapun terbuka untuk menerobos kabut melihat lurus ke depan. Tiba tiba sang istri tersentak karena tiba-tiba motor direm secara mendadak. Dia mencoba meninggikan pandangannya melewati pundak sang suami, mencari tahu apa penyebab sang suami menghentikan motor secara mendadak.

Alangkah terkejutnya sang istri setelah menemukan apa penyebab suaminya berhenti. Tiba-tiba dia merasa badannya mendadak lemas. Bahkan untuk berteriakpun seolah dia tidak punya kekuatan lagi.  Bagaimana tidak, tidak jauh di depan mereka, dia melihat sesosok binatang yang sangat dia takuti tengah menghadang jalan mereka. Sesosok harimau besar sedang duduk melintang di jalanan membelakangi mereka. Harimau yang sangat besar. Bahkan dia tidak pernah membayangkan bahwa ada harimau yang sebesar itu. Harimau itu sedang menjilat jilat kaki depannya. Dia dapat meliihat belang harimau tersebut dengan jelas. Jarak mereka tidak begitu jauh, dengan berberapa lompatan harimau tersebut pasti bisa menerkam mereka.


Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka berdua. Jangankan mengeluarkan suara, bahkan tanpa sadar merekapun mulai menahan napas, karena takut mengusik si raja hutan itu. Sesaat sang suami seperti  kehilangan kekuatan. Kakinya hampir tidak bisa menopang sepeda motor, sehingga motor mereka sempat hampir terjatuh. Tetapi kemudian dia sadar bahwa di belakangnya ada istrinya. Dengan cepat diapun teringat sama anak mereka yang ditinggal di rumah. Anak yang sangat dia sayangi. Anak yang masih sangat tergantung dan membutuhkan kedua orang tuanya. Rupanya kecintaan terhadap istri dan rasa sayang terhadap anaknya kembali memberi kekuatan baru pada sang suami. Perlahan dengan tangan bergetar sang suami mencoba membelokkan sepeda motor mereka. Sementara sang istri hanya bisa berdoa kepada yang Kuasa agar mereka mendapat perlindungan-Nya. Dia berdoa semoga dia masih diberi keselamatan dan kesempatan bertemu dengan anak tercintanya.

Syukur alhamdulillah, sang harimau sepertinya tidak terganggu dengan kehadiran mereka. Harimau tersebut memang sempat mengangkat kepalanya dan menegakkan telinganya, tetapi kemudian terus lanjut menjilati  tubuhnya, membersihkan belangnya, belang yang selain menjadi alat kamuflasenya juga bagian yang menambah kegagahnnya.

Mestinya harimau tersebut tahu akan kehadiran suami-istri tersebut. Penciumannya yang tajam pasti sudah bisa mencium bau badan sang suami yang memang belum sempat mandi subuh tadi. Belum lagi dengan bau parfum sang istri yang baru dia beli di hari sabtu kemarin. Tapi entah karena doa sang istri, sang harimau seolah tidak peduli dengan kemunculan mereka. Atau mungkin juga karena kesombongan si Raja Hutan, yang tidak melihat mereka dengan sebelah mata dan tidak menganggap mereka sebagai suatu ancaman. Si Raja Hutan tersebut tidak terusik, tetap tenang seolah menganggap jalanan tersebut telah menjadi daerah kekuasaannya.

Perlahan, dengan kaki yang masih lemas si suami mulai mendorong sepeda motor mereka kembali ke arah berlwanan. Setelah beberapa meter dia baru berani menggas motornya pelan pelan dan setelah agak jauh baru kemudian mempercepat laju motornya tanpa memperhatikan lagi lobang-lobang yang ada. Walau sudah terguncang guncang dibelakang, tapi sang istri masih merasa laju motor tersebut sangat lambat.
“Ayo ayah…, cepatan!” bisiknya seperti  teriakan yang tertahan.
Sang suamipun menambah laju motor, lebih cepat lagi, seolah berpacu melangkahi lobang yang ada dan menepis bebatuan yang berserakan, dengan satu tujuan yakni mencapai desa terdekat secepat mungkin.
Sesampai di desa terdekat, sang suami menghentikan motor mereka di depan warung kopi pertama yang mereka temukan. Sang istri turun dan langsung jatuh pingsan di pinggir jalan. Sang suami tidak punya kekuatan lagi untuk membantu istrinya. Dia hanya sanggup mendekati istrinya sebelum terjatuh lunglai.

Tidak urung kejadian ini membuat orang orang di warung kopi berhamburan keluar. Memang, pada pagi hari biasanya warung kopi sudah banyak didatangi oleh para lelaki. Sudah seperti sebuah kebutuhan, mereka terbiasa  menyeruput secangkir kopi ditambah sepotong  pisang goreng sebagai pengisi perut sebelum berangkat ke kebun untuk menyadap karet. Kalau istri di rumah belum sempat menyiapkan sarapan, mereka juga bisa menyantap sedikit beras ketan di warung kopi, sambil bersenda gurau.

“Ada apa…? Apa yang terjadi..? tanya seorang lelaki yang paling dahulu sampai ke dekat suami-istri tersebut sambil mencoba mendudukkan sang suami.
Tidak ada jawaban, kedua suami-istri tersebut masih tidak bisa menjawab. Keduanya masih pucat pasi.
“Tolong ambilkan air..!”, kata yang lain.
Segera mereka memberi minum sang suami dan mencoba menyadarkan sang istri dengan membasuhkan air pada mukanya. Tidak lama kemudian, orang-orangpun mulai ramai dan mereka segera menggotong kedua suami-istri tersebut masuk ke dalam warung kopi.
“ Ada apa lae…? Apa yang terjadi? Mereka mencoba kembali mencari tahu informasi dari sang suami yang sudah mulai membuka matanya.
“ A… a.. adong nangkin na Gogo i ” jawab sang suami pelan, seperti berbisik, seolah-olah takut kedengaran yang lain.
“Maksudmu kalian tadi ketemu Raja i ?, tanya yang lain dengan suara seperti tersedak.

Tidak ayal mendengar nama Na Gogo i, membuat semua yang hadir, langsung terdiam, terhenyak. Kemunculan nama Na Gogo i juga memunculkan berbagai pemikiran di masing-masing benak mereka. Sang kepala desa yang sudah hadir pun segera memberikan instruksi pada warganya.

“Badaruddin…, segera umumkan ke warga kalau hari ini tidak boleh ada yang berangkat ke kebun maupun ke sawah! “
“Anak anak yang mau ke sekolah juga harus diantar oleh orang dewasa!”, lanjut kepala desa memberikan arahan pada Badaruddin, pemuda yang menjadi ketua karang taruna di desa tersebut.

Segera cerita tersebut tersebar dengan cepat. Tidak cuma di desa itu, tapi juga ke desa sebelah dan akhirnya membuat geger  semua desa di kecamatan tersebut. Cerita tersebut ramai diperbincangkan di kedai kopi. Setiap ada momen untuk berkumpul baik itu ada hajatan untuk syukuran maupun saat ada kemalangan, cerita kemunculan babiat itu tidak pernah luput dari topik pembicaraan.

“Kemarin, warga di desa Manambirang memukul cenang untuk memanggil pulang para petani dari kebun”, kata si Puddin, pemuda yang pekerjaan sehari harinya menarik becak mesin tersebut.
“Soalnya, saat oji Latif lewat di batas desa, tiba tiba dia merasa ada yang melompat ke atap mobil”, lanjutnya. Oji Latif adalah salah seorang saudagar kopi di daerah tersebut. Dia sering mendatangi para pedagang pengumpul langsung ke desa desa mereka.
“Begitu oji Latif berhenti sejenak, dia kemudian sadar bahwa Na Gogo i lah yang sedang bertengger di atap mobilnya. Tentu saja oji Latif dan seorang pegawainya hanya bisa terdiam di dalam mobil sampai Raja i turun dan melompat ke dalam hutan”, lanjut si Puddin seolah olah melihat sendiri kejadian tersebut.
“Wah… berarti daerah jelajahannya sudah semakin jauh ya…” kata yang lain , menanggapi cerita si Puddin.

Cerita kemunculan harimau di daerah tersebut terus bertambah, baik yang melihat langsung bagaimana harimau tersebut sedang menyeret seekor kijang maupun yang hanya menemukan jejak kaki peninggalan sang Raja hutan di sawah maupun kebun mereka. Lama kelamaan cerita cerita keluarnya sang Raja hutan dari kediamannya itu mulai mengganggu penduduk. Tidak hanya keamanan keluarga yang terancam, beberapa orang sudah mulai merasa terancam perekonomiannya.  Ya, terancam karena pendapatan utama mereka sangat tergantung pada hasil sadapan karet mereka. Belanja mingguan sang istri didapat dari hasil menyadap karet tiap minggunya. Sekarang sudah lebih dua minggu mereka tidak berani menyadap karet. Tabungan mereka yang tidak begitu banyak sudah terpaksa harus diambil.

“Bah, apa yang harus kita perbuat nih…?”, Tanya si Lokot suatu ketikan saat duduk duduk di kedai kopi.
Dari jam 6 tadi pagi, sepulang dari mesjid dia sudah nongkrong di kedai kopi karena dia belum berani juga ke kebun karetnya. Kebetulan kebun peninggalan orangtuanya tersebut agak jauh dari perkampungan. Karena itu istrinya tidak memperbolehkannya mengambil resiko pergi meyadap karet.
“Tolong tambah dulu airnya tulang”, pinta si Lokot sambil menyodorkan gelas kopinya yang sudah mulai habis, tapi masih ada bubuk kopi yang tertinggal di dasar gelas, pada si empunya warung.
“Iya, kehadiran Na Gogo i membuat saya tidak berani ke sawah nih”, sambut yang lain dari meja sebelah.
“Apa pemerintah tidak bisa bertidak?”, kata si Lokot sambil memperbaiki duduknya.
“Apa Pak Lurah tidak bisa bilang agar Pak Camat meminta Koramil memburunya?, lanjutnya lagi. Kelihatannya si Lokot mulai gusar dengan kondisi sekarang ini.
“Tidak segampang itu”,  jawab si Lubis yang duduk di dekat pintu. “Jangan lupa, Harimau Sumatera merupakan salah satu binatang yang sudah dilindungi”, lanjutnya.

Walaupun si Lubis sekolahnya tidak tinggi, hanya tammat SMA, wawasannya cukup luas. Dia tidak pernah berhenti belajar. Dia rajin membaca koran ataupun mendengarkan berita di TV. Bahkan seisi desa paham betul bagaimana dia menanamkan disiplin belajar pada anak anaknya. Tidak heran anak-anaknya selalu mendapat rangking pertama di kelas masing masing.
“Tapi kalau sudah mulai masuk kepemukiman penduduk, dan mulai menganggu, maka tidak ada larangan untuk memburunya”, si Lokot memberikan argumennya.
“Betul itu…, saya mau ikut memburunya asal didamping oleh pak Koramil” sambut yang lainnya yang mulai geram karena tadi pagi anaknya kembali mendesak ingin dibelikan seragam yang baru, sementara hasil sadapannya tidak bisa dia ambil.

Pembicaraan tersebut rupanya menarik perhatian si Burhan, seorang pemuda desa tersebut, seorang pemuda yang baru meraih gelar sarjananya di tanah Jawa. Kebetulan dia sedang pulang, mengantar pulang orang tuanya yang baru menghadiri wisudanya. Pagi itu sengaja datang ke kedai kopi hendak membeli nasi ketan dan pisang goreng kesukaannya. Sudah lama dia tidak merasakan sarapan dengan ketan dan pisang goreng. Di tanah Jawa, sarapan favoritnya itu terpaksa harus di gantikan oleh sebungkus atau dua buangkus nasi kucing. Nasi bungkus khas Jogja yang sudah menjadi pilihan utama anak-anak kos. Apalagi di akhir-akhir bulan saat uang kiriman orang tuanya sudah menipis.
Sambil menunggu ketannya di bungkus, si Burhan mencoba memberikan pendapat.

“Tapi Tulang, apa benar Harimau ini sudah mengganggu?”, Tanya si Burhan sambil duduk di dekat si Lubis.
“Apa maksudmu Burhan?, ya jelaslah! Coba tanya siapapun disini, apa ada yang tidak merasa terganggu dengan kehadirannya?” seru si Lokot.
“Maksud saya tulang, apa tidak dipikirkan kemungkinan lain?”, kata si Burhan pelan. Pemuda ini mencoba menenangkan si Lokot yang kelihatan terganggu dengan pernyataannya.
“Misalnya, kenapa harimau ini sampai masuk ke wilayah pemukiman?, ya… katakanlah ke pinggiran desa kita”.
“Apa maksudmu Burhan, coba kau jelaskan dulu!”, Si Lubis yang duduk di dekat si Burhan mencoba memberikan kesempatan untuk si Burhan menjelaskan pendapatnya. Si Lubis memang sangat terbuka terhadap pendapat siapa saja. Apalagi dia tahu pemuda ini sudah menyelesaikan sekolahnya, tentu dia sudah belajar banyak di rantau sana.
“Begini udak, kalau menurut saya harimau ini masuk ke wilayahan pemukiman karena terpaksa”, lanjut si Burhan.
“Terpaksa bagaimana maksudmu Burhan?”, tanya si Lokot.
“Iya, mereka terpaksa turun ke desa kita karena mereka sudah terdesak. Terdesak karena ulah kita semua. Tulang dan udak kan tahu bahwa penebangan liar banyak di dareah kita belakangan ini. Bukan rahasia lagi kalau banyak kayu-kayu illegal diangkut dari daerah kita”, lanjut pemuda tersebut.
“Kadang kita tidak sadar kerusakan yang telah diakibatkan penebangan liar ini. Dari desa ini kita memang masih melihat kehijauan saat kita memandang ke bukit sana. Tapi tahukah tulang sama udak, seperti apa hutan di balik bukit sana? Sudah habis tulang! Hutan tempat harimau-harimau itu sudah habis dibabat oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, hewan hewan sumber makanan si Harimau juga pada hilang. Jadi wajar dia mencari daerah baru untuk mencari makan, kebetulan dia mencoba ke desa kita”, papar si Burhan.
“Oh, itu maksud mu Burhan”, kata si Lubis. “Tidak cuma itu”, lanjut si Lubis seolah sudah mengerti arah pembicaraan si Burhan.
“Bahkan sekarang ini sedang marak penambangan emas. Sebulan lalu hampir selama seminggu ada helikopter hilir-mudik ke balik bukit itu. Sehari bisa lima kali helikopter turun-naik membawa barang. Entah apa kegiatan mereka”, si Lubis menceritakan apa yang dia lihat sebulan lalu.
“Betul itu…”, timpal yang lain. “Kalau tidak salah katanya itu kegiatan penambangan oleh PT. Bukit Barisan Mas”, lanjut lelaki di seberang meja itu.
“Benar Burhan, saat ini usaha tambang emas lagi marak di daerah kita”, kata si pemilik warung mencoba menjelaskan pada si Burhan. Maklum si Burhan baru datang dari pulau Jawa. Dia seolah ingin memberikan informasi terbaru pada pemuda itu.
“Bahkan si Pulan sudah menebang pohon cokelatnya”,  lanjut pemilik warung itu.
 “Loh, kenapa?, bukannya coklatnya sudah berumur 2 tahun. Seharusnya sudah masanya dia memetik hasilnya kan?, tanya si Lokot penasaran.
“Itulah, tapi kalian kan tahu kebunnya dia itu tidak jauh dari bekas tambang emas jaman Belanda dahulu. Sekarang di kebunnya sudah dibuka  tambang emas, dia kerja sama dengan penambang dari Jawa Barat. Semacam bagi hasil lah… Sekarang sudah ada lobang-lobang sepanjang puluhan meter di bawah kebunnya itu”, lanjutnya.
“Kebunnya itu hampir 24 jam tidak sepi dari aktifitas. Area tambang tersebut senantiasa terang 24 jam sehari dengan genset yang mereka bawa”, kata si pemilik warung menceritakan kembali apa yang pernah dia dengar langsung dari si Pulan.
“Apa lagi demikian udak”, kata si Burhan sambil berdiri menerima bungkusan ketan pesanannya.
“Suara helikopter yang menderu-deru tentu sangat menakutkan bagi harimau tersebut. Apalagi suasana terang selama 24 jam sehari, tentu itu membuat sang harimau maupun binatang lain terganggu, tidak bisa istirahat”, kata si Burhan sambil membayar pesanannya.
“Bisa jadi.., tidak heran mungkin justru na Gogo i lebih merasa aman di pinggir desa kita dari pada di tengah hutan sana”, sambut si Lubis seolah menyimpulkan penjelasan si Burhan.
“Iya udak, kalau saya justru melihat kemunculan harimau ini belum merupakan suatu ancaman, tapi baru peringatan. Kalau kita tidak bisa lebih bijaksana, bukan hanya harimau yang datang menyambangi desa kita, tapi bisa-bisa suatu saat, di tengah malam buta, desa kita diserbu oleh banjir bandang, menyapu sawah dan rumah rumah kita, mungkin juga akan membawa anak-anak dan ibu-ibu yang sedang tertidur lelap”, kata si Burhan dengan penuh kekhawatiran. Semua terdiam.
“Saya duluan tulang, udak! Assalamualaikum!” Pemuda itupun pamit sambil menyudahi pembicaraan mereka.
“Waalaikum salam…”, jawab mereka serentak. Sesaat suasana di warung kopi tersebut sepi, mungkin mereka sedang mencoba membayangkan bahaya lain yang sedang mengancam desa itu. Bahaya yang mungkin lebih besar daripada seekor harimau.


#2

Sekarang sudah tiga minggu sejak kemunculan sang harimau. Tapi belum ada kabar kalau si harimau sudah tertangkap atau setidaknya sudah meninggalkan area desa itu. Sekarang tidak cuma para petani yang resah, bahkan Oji Soleh, lelaki tua di desa itu itu mulai ikut uring-uringan. Dia uring-uringan karena sudah tiga minggu ini suraunya sepi, tidak ada anak-anak yang mengaji sehabis magrib.

“Boru Suti, kemana saifuddin anakmu itu? Sudah lama dia tidak mengaji”, tanya Oji Soleh ketika berpaspasan dengan boru Suti yang baru pulang mengajar dari sekolah SD.
“Ada uwak”, kata perempuan itu dengan sopan. “Tapi memang saya yang melarang dia untuk mengaji di surau sekarang sekarang ini”, lanjutnya.
“Kenapa?”, tanya Oji Soleh. “Takut dengan cerita kemunculan Raja i ?”, tebak Oji Soleh.
“Iya Uwak…”
“Tidak usah khawatir. Raja i tidak akan mengganggu. Seharusnya kamu lebih takut apabila anakmu tidak mengaji,  anak kamu nanti bisa salah dalam memilih pergaulannya?, sindir Oji Soleh.
“Bukan begitu uwak…”, boru Suti itu mencoba menjelaskan. Dia sudah bisa menebak arah pembicaraan Oji Soleh. Sebagai seorang guru sekolah dasar, dia tahu juga bagaimana tantangan untuk membesarkan seorang anak saat ini.  Dia tahu, di daerah mereka banyak beredar barang terlarang, karena  tidak jarang daerah mereka masuk TV nasional yang memberitakan kalau  daerah mereka sekarang ini merupakan salah satu lumbung penghasil ganja. Ditambah infotemen yang tidak terbatas dari banyaknya saluran TV, kalau tidak di barengi dengan pendidikan akhlak, bisa-bisa anak mereka ikut terjerumus.
 “Saya khawatir kalau dia keluar rumah malam hari uwak, biarlah dia saat ini mengaji di rumah saja. Saya janji akan tetap mengajarinya”, kata boru Suti mencoba meminta pengertian Oji Soleh.
“Baik kalau begitu, mudah mudahan anak-anak yang lain juga tetap mendapat pengasawan dari orang tuanya,  seperti perhatianmu itu”, kata Oji Soleh.
“Oh iya, kalau ketemu ibu-ibu yang lain, tolong dibilangin, kalau ada anak yang mau mengaji, saya tunggu di surau. Tidak usah terlalu khawatir! Insyaallah Tuhan akan melindungi kita”, kata Oji Soleh sambil berlalu.

Sebenarnya keberanian Oji Soleh ini bukan tanpa alasan. Bukan juga karena usianya yang lanjut, sehingga dia yakin tulangnya yang dibalut kulit keriput tidak lagi menarik bagi harimau. Awalnya dia merasa khawatir juga. Apalagi jalan ke surau dari rumahnya harus melewati kebun pisang yang cukup rimbun.

Sampai suatu subuh, saat dia hendak berangkat ke surau, tiba tiba dia dikejutkan suara seperti orang batuk, bukan batuk tapi lebih mirip mendehem. Tapi dari pengalamannya selama ini dia langsung sadar bahwa itu bukan suara manusia yang batuk. Dia langsung teringat cerita-cerita yang berkembang, cerita tentang harimau yang belakangan ini sering ketemu dengan penduduk di beberapa desa di sekitar situ. Dia semakin yakin kalau itu adalah suara harimau, suara babiat yang mendehem. Oji Soleh langsung menghentikan langkahnya. Dia berpikir cepat apa yang mesti dia lakukan. Kakinya yang tua sudah tidak mungkin kalau diajak untuk berlari. Oji Soleh mencoba menenangkan diri sambil melapaskan doa perlindungan diri dan juga dzikir-dzikir yang sudah boleh dibilang telah terbiasa menyatu dan mengalir dengan denyut darahnya. Tiba tiba dia mendengar suara dedaunan pohon pisang kering yang terinjak oleh sesuatu. Oji Sholeh menoleh ke arah suara tersebut, dan dia melihat apa yang tengah menggemparkan masyarakat belakangan ini. Di balik pepohonan pisang awalnya dia melihat sepasang bola mata yang menatapnya tajam. Mata Oji Soleh yang masih cukup jelas melihat di kegelapan tersebut kemudian bisa menangkap sosok harimau besar sedang berdiri menatapnya. Oji Soleh hanya bisa terpaku, kakinya benar-benar tidak bisa digerakkan. Dia pasrah, dan merasa bahwa kesempatannya untuk hidup di dunia ini hanya sampai di situ saja. Dalam hati dia langsung mohon ampun pada sang pencipta atas salah dan khilapnya selama hidupnya. Dia berdoa semoga amal ibadahnya diterima yang Kuasa dan berharap mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Oji Soleh tidak lupa mengucapkan syahadat. Dia ingin memastikan kalau dia mati dalam keislaman. Lelaki tua itu siap menerima takdirnya.

Lama lelaki tua dan sang harimau saling bertatapan.  Yang satu berdiri terpaku dan yang satunya mungkin berdiri dengan kewaspadaan dan ancang-ancang siap melompat untuk menerkam. Tapi, kemudian Oji Soleh melihat tatapan harimau tersebut lama-kelamaan tidak menakutkan lagi. Antara sadar dan tidak, sesaat kemudian dia melihat harimau tersebut menunduk sebelum berpaling dan kemudian menghilang dalam satu lompatan. Oji Soleh masih tidak beranjak, kakinya masih terlalu lemas untuk melangkah. Dia seolah tidak percaya apa yang terjadi. Rupanya dia tidak ditakdirkan untuk mati saat itu, mati diterkam harimau.  Sambil mengucap syukur dia mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Ya, harimau itu tidak menunjukkan permusuhan kepadanya. Tidak seperti yang dikhawatirkan masyarakat belakangan ini. Bukan harimau yang ingin menerkam siapa saja yang ditemuinya.

Oji Soleh mulai berpikir, jangan jangan harimau tadi bukan sembarang harimau, bukan sembarang babiat. Jangan-jangan yang dia temui tadi adalah babiat napa !. Ya.., itu babiat napa!.

Memang sudah lama sekali dia tidak mendengar cerita tentang babiat napa. Tapi dulu,  babiat napa sering menjadi bahan pembicaraan orang-orang di kampungnya. Babiat napa ini berupa harimau juga. Tapi kemunculannya hanya pada saat-saat tertentu saja. Kemunculan babiat napa selalu menjadi suatu peringatan bagi warga kampung. Biasanya babiat napa hanya muncul apabila ada warga kampung yang berbuat aib. Apabila ada warga yang berbuat zinah, manggampang istilah orang di sana,  maka babiat napa akan muncul ke kampung tersebut. Kampung itu akan senantiasa disambangi sang harimau sampai orang yang berbuat aib tersebut menghentikan perbuatannya dan meminta ampun. Tidak jarang kalau orang yang berbuat zinah tidak juga mengaku, babiat napa datang langsung ke halaman rumahnya, meninggalkan jejaknya di sekeliling rumah orang tersebut. Dengan demikian para tetua kampung bisa menasehati dan terkadang harus memberikan hukuman bagi mereka. Biasanya orang yang telah berbuat zinah akan diminta menikah atau kalau tidak diusir keluar dari kampung tersebut. Setelah itu biasanya harimau tersebut, babiat napa, tidak akan muncul lagi.

Tapi pada masa ini, Oji Soleh tidak bisa sembarangan mengutarakan pendapatnya tersebut. Dia tidak punya bukti. Dia paham, pada saat sekarang ini, tidak bisa sembarangan mengemukakan pendapat seperti itu. Bisa-bisa dia dituduh menyebar fitnah. Bukannya mengucilkan orang yang telah berbuat aib, bisa-bisa nanti dia yang sudah tua itu yang akan terkucilkan.


#3

Jumat malam, saat gelapnya malam sedang siap-siap bergulir menuju dua pertiga malam, Togar, seorang yang termasuk orang terkaya di desa itu baru pulang dari Medan dengan Toyota Alphardnya. Tidak cuma kaya, saat ini Togar cukup berpengaruh di daerah mereka. Posisinya sebagai anggota DPRD tingkat II telah menaikkan derajat sosialnya. Selain itu dengan insting bisnisnya yang tinggi, dia juga tengah menjadi  kontraktor yang sedang naik daun. Memang bukan nama dia sendiri yang muncul sebagai kontraktor, tapi semua orang tau bahwa dia berada di belakang sepak terjang perusahaan tersebut. Dia tahu betul bagaimana memanfaatkan posisinya saat ini. Tidak heran banyak orang yang datang meminta pertolongannya. Mulai dari guru yang meminta tolong agar segera diusulkan jadi kepala sekolah atau yang mau menjadi kepala dinas, bisa diatur oleh si Togar. Tentu pertolongan tersebut tidak gratis. Itu baru skala kecil, yang dapat diamati langsung oleh tetangga sekitarnya. Dari kursi jabatannya dia juga bisa mengatur beberapa proyek besar di daerah mereka, mulai dari penerbitan izin pembukaan lahan sampai dengan beroperasainya pertambangan di daerah itu. Maraknya penambangan emas di daerahnya saat ini juga ikut menambah pundi-pundi emasnya. Walaupun banyak ditentang masyarakat, perusahaan tambang emas besar tetap dapat beroperasi baik yang legal maupun tidak legal, tentu setelah mendapat restu dari Togar dan teman-teman. Walaupun sedikti agak berbau korupsi, tetapi dia tidak pernah khawatir. Dengan kelihaian dan dibantu kolega-koleganya dia selalu bisa berkelit dan menemukan jalan tengah yang menyenangkan pihak-pihak terkait.

Seperti malam ini, dia baru saja pulang dari Medani, ketemu dengan beberapa pengacara yang cukup terkenal. Mereka baru saja melakukan pertemuan untuk mengatur pembelaan terhadap salah satu koleganya yang sedang dihadapkan ke pengadilan karena pembukaan lahan yang dianggap liar. Kasus yang awalnya cukup menarik perhatian itu sekarang mulai tenggelam. Ini tidak lepas dari peran mereka. Walaupun bukan dia yang diincar, tetapi dia tetap berusaha membantu koleganya tersebut. Bagaimana pun dia tidak mau nanti kalau ikut terseret- seret. Dia takut kalau sampai koleganya membuka mulut bahwa setiap 10 hektar perkebunan kebun kelapa sawit yang dibuka, satu hektarnya merupakan haknya dia.

Karena sudah larut, pembantu rumahnya si Togar sudah pada terlelap sehingga sang sopir terpaksa turun untuk membukakan pintu pagar rumahnya. Setelah memasukkan mobil ke garasi yang luas, sang sopir pamit pulang dengan menggunakan motor yang merupakan hadiah dari sang majikan. Togar langsung menuju ruang keluarga, mencari cemilan dan menyalakan TV, mencari siaran sepak pola pada jaringan kabel langganannya. Dia sengaja tidak membangunkan istrinya. Mungkin istrinya juga butuh istirahat yang cukup. Bisa jadi besok istrinya sudah punya janji dengan ibu-ibu Dharmawati lainnya.
Baru saja dia merebahkan diri pada sofa empuk di depan TV,  tiba tiba dia seperti mendengar suara yang agak ganjil. Tidak begitu jelas memang. Togar pun mencoba mencari arah suara tersebut sambil  mengecilkan volume TVnya.
“Huuiiikkkk…”, sekarang dia bisa mendengar jelas bahwa suara itu datang dari arah belakang.
Dengan penasaran, dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah belakang, menyalakan lampu ruang makan. Dia mendengar suara berisik dari kamar belakang.
“Nur...,Kaunya itu?”, sapanya menanyakan pembantunya.
“Bukan ayah, ini saya Rosma”, terdengar jawaban dari kamar putrinya.
“Oh…, kapan kau datang?”, tanya Togar.

Rosma adalah putri satu-satunya. Putrinya tersebut sedang kuliah di Medan, tahun ke tiga. Togar sangat bangga kepada putrinya tersebut. Dia berharap putrinya dapat segera menyelesaikan S1, sehingga bisa dia bisa sekolahkan lagi ke Jakarta untuk mengambil S2. Di Medan anaknya tinggal di rumah yang sengaja dia belikan saat putrinya tersebut mulai kuliah. Dari sisi materi, boleh dibilang Togar sangat memanjakan putrinya. Apa saja permintaan putrinya hampir tidak pernah yang tidak dia penuhi.

“Tadi sore ayah”, jawab putrinya masih dari dalam kamar.
“Kok pulang tidak bilang-bilang, kan bisa pulang sama-sama dengan ayah”, tanya Togar lagi
Tidak ada jawaban dari dalam kamar, Togar mencoba mendekati kamar putrinya tersebut.
“Wuuaak…”’ dia mendengar suara seperti orang muntah.
“Sehatnya kau?, tanya Togar agak keras, sambil mengetuk pintu kamar putrinya.
“I… i.. iya ayah… , cuma pusing. Mungkin masuk angin tadi di jalan. Tapi sudah makan obat kok”, jawab putrinya buru buru.
“Oh…, istirahatlah kalau begitu”,jawab Togar. Berarti dia tadi itu mendengar suara putrinya yang sedang masuk angin. Karena anaknya tidak membukakan pintu kamarnya, Togar kembali menuju ke ruang keluarga, mungkin anaknya kecapaian saja pikirnya.
Sampai di ruang tengah, Togar kembali merebahkan diri di sofa sambil mengambil remote TV. Sebelum dia sempat menaikkan volume TV nya, tiba tiba dia dia kembali mendengar suara tersebut.
“Huuiiiikkkkk…!”

Kali ini suara tersebut datang dari arah depan rumah mereka. Dia mencoba mendengar lebih seksama. Iya betul, dia bisa mendengar seperti ada suara langkah bolak balik di depan rumah mereka
“Gggrrrmmmmm”, sekarang dia dapat mengenali jelas suara itu. Itu seperti suara geraman seekor harimau atau babiat.
Dia dapat menyimpulkan demikian karena dia juga sudah mendengar cerita-cerita warga di warung warung kopi akan kemunculan seekor harimau di kampung mereka. Bahkan dia sempat diminta tolong masyarakan agar dia meminta Koramil untuk memburu binatang tersebut. Cuma karena kesibukannya dia belum sempat menghubungi pihak aparat. Dia juga tahu adanya beberapa opini di masyarakat yang menyatakan bahwa kemunculan harimau tersebut ke pemukiman adalah karena sudah rusaknya hutan tempat tinggal sang Raja, setelah dibabat untuk illegal loging dan perkebunan kelapa sawit, dan sekarang bahkan diganggu oleh kegiatan pertambangan.

 “Jangan jangan, na Gogo i mau balas dendam pada kita yang telah merusak tempat tinggalnya”, demikian omongan yang sempat dia dengar. Dia tahu omongan seperti itu sengaja menyindirnya. Tapi sengaja dia tidak mau menanggapai omongan seperti ini, tidak ada gunanya untuk dia. Bisa-bisa malah menjatuhkan posisinya di mata orang orang.
Tapi sekarang harimau tersebut ada di depan rumahnya. Apa benar sang harimau itu mau balas dendam? Bagaimana mungkin harimau ini tahu kalau dia berperan dalam pembabatan hutan. Bagaimana mungkin harimau ini bisa menemukan rumah orang yang telah member izin pertambangan yang telah menjadikan tempat tinggal harimau ini tidak lagi pernah tenang. Tapi Togar tidak gampang takut. Dia sudah terbiasa menghadapi persolan yang lebih besar. Mulai dari tuduhan-tuduhan dan penyelidikan atas sepak terjangnya selama ini sampai berhadapan dengan pengadilan pun dia sudah terbiasa. Apalagi hanya dengan seeokor harimau atau babiat. Walau agak kaget dengan kejadian ini, tapi dia tidak takut. Dia merasa aman karena  berada di dalam rumahnya yang kokoh. Rumah yang terbuat dari bata. Bagian luar masih dilapis eksterior dari kayu pilihan. Kayu-kayu pilihan yang dia dapat secara gratis dari kolege-koleganya pengusaha kayu. 

“Srreeetttt…..”, tiba tiba dia mendengar dinding rumah samping mereka seperti dicakar, cakaran pada dinding ruang keluarga tempat Togar sekarang ini. Kali ini Togar sangat kaget, cakaran tersebut seperti hendak mencakar tubuhnya.
Ya, suara cakaran tersebut sangat jelas dan pasti menimbulkan bekas yang dalam pada dinding kayu yang melapisi bagian luar rumahnya. Hati Togar langsung menciut. Rupanya babiat ini tidak main-main. Babiat itu benar-benar hendak mengincar dirinya.

“Aaauuummm”, kali ini Togar mendengar sang harimau mengaum.
Aumanya tidak keras, hanya auman kecil. Tapi auman tersebut seperti bergema di rongga dada Togar. Auman lirih tersebut menghentikan sejenak detak jantungnya. Tak terasa keringat dingin mulai mengujur di seluruh tubuhnya. Kali ini ketakutan yang amat sangat mulai menguasai dirinya. Dia seperti bisa merasakan kemarahan sang harimau yang terganggu karena hutannya telah dirusak oleh kepentingan segelintir orang, orang-orang yang berada pada lingkarannya. Togar juga merasa kemarahan sang harimau ini juga seolah mewakili kemarahan orang-orang yang selama ini telah dia abaikan, orang-orang  yang seharusnya dia perjuangkan tapi justru dia manfaatkan untuk menambah kekayaan pribadinya.

Togar sesaat merasa seperti akan mendapat hukuman atas perbuatannya. Dia merasa seperti tidak bisa lari dari tanggung jawabnya kali ini. Kedatangan sang harimau kerumahnya seolah telah menimpakan dakwaan berlapis kepadanya atas perbuatannya selama ini. Cakaran harimau pada dinding rumahnya serasa telah menjatuhkan vonis bersalah kepadanya.  Auman sang harimau telah meruntuhkan kedigdayaannya.
Dengan pucat pasi Togar mematikan TV dan perlahan memasuki kamar tidurnya. Bersembunyi di balik selimut dan berlindung di belakang istrinya yang masih terlelap.

Sementara Rosma, sang putri yang belum tidur, juga dapat mendengar auman harimau tersebut. Saat itu dia sedang berada di kamar mandi, di dalam kamarnya. Dia baru saja berkumur kumur sehabis muntah-muntah. Sebenarnya sudah beberapa hari ini di merasa mual-mual terus, dan sejak sore dia sudah beberapa kali muntah- muntah. Begitu pula saat ayahnya tadi mengetuk pintu kamarnya.  Sengaja dia tadi tidak membuka pintu untuk ayahnya, karena dia tahu rasa mualnya ini bukan karena dia masuk angin. Melainkan karena sudah hampir empat minggu dia terlambat datang bulan. Dia tidak mau ayahnya merasa curiga. Untuk itu juga mengapa dia mendadak pulang tadi pagi. Dia ingin mencari orang yang dapat menolongnya dari masalah yang dia hadapi ini. Masalah yang dia perbuat sendiri. Masalah yang hanya bisa dia sesali.

Di Medan, dengan kehidupan yang berlimpah, Rosma bukannya mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan dengan kuliah sebagaimana yang orangtuanya harapkan. Rosma justru lebih tertarik dengan pergaulan di luar kampus. Dengan fasilitas lengkap ditambah wajah yang cantik dengan mudah Rosma telah menjadi seorang gadis metropolitan, lengkap dengan pergaulan anak mudanya. Tinggal di rumah sendiri juga menambah kebebasannya dalam bergaul. Gaya pergaulan ini juga yang kadang dia bawa saat pulang ke kampung. Termasuk gaya bergaulanya dengan Badrul, pemuda di kampungnya yang sudah menjadi pacarnya sejak masa SMA. Saat Rosma pulang kampung, tidak jarang pergaulan mereka telah melewati batas norma maupun agama. Selama ini mereka dapat berhubungan dengan sembunyi, tanpa ada yang merasa curiga.

Pergaulan mereka inilah yang sekarang menimbulkan masalah bagi dirinya. Masalah yang akan menjadi aib bagi dirinya, juga akan mencoreng kehormatan kedua orang tuanya. Masalah yang kalau berlarut larut tidak akan bisa dia sembunyikan lagi. Karena itulah dia pulang. Ingin meminta pertanggung jawaban Badrul, atau mencari penyelesaian lain sebelum orang lain dapat melihat perubahan pada dirinya.

Tapi auman hariamau tadi  sungguh mengagetkan Rosma. Dia juga tahu harimau tadi sempat mencakar dinding rumah mereka. Rasa takut dan malu seketika berkecamuk dan bercampur aduk dalam dirinya. Dengan kondsisinya sekarang ini dan apa yang telah dia lakukan sebelumnya, dia langsung tahu bahwa babiat  napa telah datang menyantorin rumahnya, bahkan babiat napa tersebut telah menandai rumahnya dengan cakarannya.  Babiat napa telah datang untuk memberitahu orang kampung tentang kelakuan Rosma yang telah melagar norma.  

Suara langkah terdengar bergerak dari samping rumah sampai ke belakang rumah mereka. Langkah-langkah itu tentunya akan meninggalkan jejak-jejak di pagi hari nanti. Jejak yang akan memberitahu para tetangga bahwa ada orang yang berbuat gampang/zina di rumah mereka. Jejak yang akan menelanjangi perbuatannya selama ini. Jejak babiat napa yang secara adat telah dipercaya secara turun-menurun hanya mendatangi mereka yang telah berbuat aib.

Rosma langsung lemas.  Dia tidak tidak tahu apa yang harus dia perbuat. Dia sadar dia tidak akan bisa berkelit lagi. Babiat napa telah menunjuk langsung pada dirinya. Dia tidak tahu mau dikemanakan mukanya kalau ketemu tetangganya. Dia bisa membayangkan kalau para anak gadis yang masih duduk di SMA, yang selama ini mengidolakannya, akan berbalik mencibirnya. Dia pasti tidak akan sanggup menatap para tetua adat yang akan datang memaksanya untuk mengakui perbuatannya dan harus menunjuk hidung lelaki temannya berbuat gampang. Dia tidak keberatan kalau terpaksa kawin dengan Badrul, tapi tidak dengan cara seperti ini, cara yang sangat memalukan sekali. Dia juga tidak sanggup kalau harus hidup diasingkan, diusir dari kampung mereka kalau tidak mau mengakui dan meminta maaf.

Rosma bisa membayangkan betapa malunya orang tuanya nanti. Kepercayaan dan rasa kasih sayang orang tuanya telah dia balas dengan mencorengkan aib di muka mereka. Sekali lagi Rosma masih mendengar deheman babiat napa dari belakang rumahnya, sebelum dia terkulai tidak sadarkan diri, tidak kuat menanggung rasa malu…!!


=====<<<>>>====



Bandung, 22 November 2011

Na ni surat: Chandra Jamil Dalimunte
Catatan:
>>>Na Gogo i  maksudnya adalah "yang Kuat itu", merupakan kata panggilan untuk  harimau di daerah itu. Dari namanya sendiri sudah jelas menggambarkan keperkasaan hewan yang satu ini. Kadang masarakat di daerah tersebut menamakannya juga sebagai Raja i, yang berarti sang Raja. Sebenarnya bahasa daerah harimau sendiri adalah babiat. Tapi masyarakat sana punya pantangan untuk menyebut langsung nama babiat. Pantang menyebut langsung nama babiat, seperti kita pantang memanggil nama dari orang yang lebih tua dari kita. Tidak sekedar ditakuti, sebenarnya keberadaan babiat di daerah tersebut cenderung disegani, bahkan dihormati. Malah salah satu marga di daerah tersebut mengangkat babiat sebagai mora mereka. Na Mora i, begitu mereka memanggilnya.
>>>Babiat Napa, adalah sebutan atau istilah yang juga diberikan kepada seseorang (laki-laki) yang berperilaku bejat (amoral).
>>>Cerita ini hanya rekaan belaka. Apabila ada kesamaan nama, kemiripan dengan karakter serta pengalaman seseorang, itu hanya faktor kebetulan semata. Semoga kita dapat mengambil hikmahnya.



No comments:

Post a Comment