OOO … KOTANOPAN INGANAN SORANG !!!
Betullah kiranya yang diceritakan oleh Bang Edi Nasution bahwa Kotanopan adalah sebuah kota kecil atau tepatnya sebuah desa. Tapi saya lebih sering menyebutnya sebagai Negeri Kecil, Negeri yang sering diperbincangkan orang sejak dahulu, Negeri yang juga sering menjadi pertimbangan orang-orang, Negeri tempat dimana Jenderal Besar A.H Nasution dilahirkan, Negeri tempat dimana H. Adam Malik berasal.
Bolehlah kita berbangga hati karenanya, sebab di Negeri itulah tempat kelahiran, tempat dimana mulai belajar bersosialisasi, tempat dimana diajarkan membaca dan menulis. Ah…banyak nian yang tak terlupakan di negeri kecil itu, dan banyak pula yang telah melupakannya !!
Tiadalah ingin berdebat dan ingin menyangkal tentang istilah yang disebut akang sebagai kota kecil, yang dalam hal ini saya pun setuju, karena ciri sebuah kota ada padanya. Bolehlah kiranya saya ikut bergabung ke dalam barisan akang yang suka mengembara ke masa-masa yang lalu, bertukar pikiran, bertukar informasi atau apapun istilahnya.
Masih ingat kah pola peletakan fasilitas-fasilitas yang ada di pusat kotanya?
Ada sebuah pusat pemerintahan menghadap Timur yang dulu sering kita sebut sebagai kantor Wedana. Di depannya ada sebuah lapangan terbuka yang dahulunya sering digunakan untuk upacara bendera, barangkali lapangan terbuka itulah yang sering disebut oleh saudara kita di Jawa sebagai Alun-alun. Tiada jauh dari situ, bila mana kita menghadap Utara tepatnya dekat bak penampungan air ada sebuah bangunan bekas peninggalan Kolonial yang digunakan sebagai kantor tentara. Kemudian kalau kita menghadap ke Selatan nampak pula Kantor Pertanian dan di belakang kantor pertanian ada 2 (dua) rumah yang juga peninggalan Kolonial. Dari informasi yang pernah saya dapatkan di sebelah Selatan kantor pertanian (rumah dinas dokter sekarang) juga adalah sebuah rumah peninggalan Kolonial. Dari tempat itu kita berdiri dan kita menghadap ke Barat dan Barat Daya ada kantor Pos dan Pasanggrahan yang menurut saya sebagai landmarknya kota kecil itu. Sekarang sudah menjadi bangunan yang sangat angkuh, tiadalah kita bisa duduk-duduk berangin-angin melepas lelah dibawah rimbunan pohon mahoni.
Kita sedikit berjalan menanjak ke arah utara dan berdiri lagi ditengah lapangan terbuka, kemudian kita menghadap Barat Laut, disana berdiri dengan kokohnya sebuah bangunan panggung yang beratapkan baja, berdinding kayu, berlantai kayu dan bertangga yang terbuat dari kayu pula. Mempunyai jendela besar dan lebar sehingga udara leluasa keluar masuk.
Bangunan itu membujur dari utara ke selatan berbentuk L adanya. Tidaklah semua ruangan digunakan sebagai tempat belajar, bagian selatannya yang menghadap ke bioskop Tapanuli adalah digunakan sebagai kantor dinas P&K.
Satu dua kita naiki anak tangga bangunan itu , sehingga kita berada dalam ruangan, kita akan dapatkan meja dan bangku belajar dengan disain yang menyatu. Kalau tangan kita rajin membolak-balik gambar usang, gambar Tempoe Doeloe, seperti itu pulalah kiranya meja dan bangku belajar sekolah-sekolah zaman kolonial di tanah Jawa. Kemudian kita longokkan sedikit pandangan kita ke atas papan tulis akan terlihatlah dengan jelas oleh mata kita tulisan dengan disain setengan lingkaran yang berbunyi :
“DOEDOEK MEMBOENGKOEK
MEROESAKKAN MATA DAN DADA”.
Tempat itulah dimana saya dahulu mulai diperkenalkan satu dua hurup, sehingga kita bisa membaca :Di situ pulalah saya diperkenal angka:
Sada dua tolu ninna guru i
Opat lima onom mangiut sipitu i
Roma sisalapan dohot sambilan i
Gonopma bilangan dung ro sapulu i
Laos tu sikola pincuri gerep mi
Obanma botolmu marisi aek i
Ulang nitijuri batu tulis i
Dumengganma di basu dohot aek tawari
Dari situlah kita bisa menjumlah satu ditambah satu sama dengan dua, dan kemudian bisa menghitung siperen yang lebih rumit lagi.
Di tempat itu pulalah kita diajari 8 (delapan) arah penjuru mata angin yang disebut Desa na Walu: Purba anggoni dangsina nariti pastina manyabia utara irisana.
Masih ingat kah…?!!
Saat pertama sekali menginjakkan kaki dan menduduki kursi, perasaan aneh merasuk dada, campur aduk silih berganti.
Tiada lama setelah itu muncullah seorang ibu guru.
Ibu guru yang betul-betul ke ibuan.
Ibu guru yang dengan penampilan seorang pendidik dan pengajar.
Ibu guru yang yang masih ada kaitan berfamili dengan saya.
Perasaan campur aduk mulai tenang saat dia mulai menyampaikan petuah, menyampaikan Poda Na Lima : (1) "paias roamu" (bersihkan hatimu), (2) "paias pamatangmu" (bersihkan tubuhmu), (3) "paias parabitonmu" (bersihkan pakaianmu), (4) "paias bagasmu" (bersihkan rumahmu), dan (5) "paias pakaranganmu" (bersihkan pekarangan rumahmu).
Ibu guru itu sudah lama tiada…
Sudah di panggil sama yang Empunya…
Sudah Berpulang Ke RahmatuLah…
Selamat jalan bu guru…
Doa kami sebagai anak didik ibu, yang telah mengajarkan kami mengenal dunia luar.
Semoga Almarhumah ibu guru mendapatkan cahaya dalam kuburnya, dilapangkan kuburnya.
Amin…Amin… Ya Robbal Alamin
Kurang lebih enam tahun lamanya, diajar sekolah di sekolah itu, sehingga diperoleh selembar kertas ”Surat Tanda Tamat Belajar”.
Semakin jauh kaki dibawa melangkah, hanya khabar yang diterima bahwa satu satu bapak dan ibu guru dipanggil yang kuasa. Tiadalah bisa menghantarkan ke tempat peristirahatannya, hanya doa yang bisa kami pohonkan semoga ”Semoga Almarhum bapak dan Almarhumah ibu guru mendapatkan cahaya dalam kuburnya, dilapangkan kuburnya”.
Amal Ibadahnya diterima-Nya dan segala dosa serta kekhilafannya diampuni-Nya.
Walaupun bapak dan ibu sudah tiada, masih jelas terngiang ditelinga kami petuah-petuah, poda-poda yang disampaikan bapak dan ibu guru, Insya Allah kami bisa mengamalkannya.
Sekiranya saja kita mau, sedikit menyumbangkan apa yang kita punya, satu atau dua buku bacaan kita kirimkan ke sekolah dimana kita mulai diajar membaca, menulis dan berhitung, tiadalah rugi kiranya.
Tiadalah saya ingin hanya membicarakan SD 1 saja, ada banyak sekolah dasar di Kotanopan yang perlu bantuan kita.
Bagaimana kalau kita mulai dari tingkat pendidikan yang paling rendah ?
Harapannya tentu kualitas pendidikan di Kotanopan semakin baik.
Wassalam,
Tagor Lubis