NEGARA, PASAR DAN
KEADILAN SOSIAL-EKONOMI
BAGI RAKYAT
======================================
KEADILAN SOSIAL-EKONOMI
BAGI RAKYAT
======================================
Pengantar
Menurut Heru Nugroho (2001: vi), pergulatan pemikiran di seputar topik “negara, pasar dan keadilan sosial”, baik yang bersifat akademik maupun populer, merupakan wacana publik yang masih tetap aktual dibicarakan sampai saat ini. Keyakinan kaum Neo-Liberalis bahwa perdagangan bebas yang disertai dengan pengurangan campur tangan negara seminimum mungkin akan mendatangkan kemakmuran dan demokrasi, namun dalam konteks Indonesia justru memunculkan persoalan. Sebab perubahan sistem politik yang tidak mengarah pada demokrasi merupakan prakondisi yang melahirkan reaksi penolakan terhadap sistem perdagangan bebas. Dapat diasumsikan bahwa masyarakat yang dapat menerima perdagangan bebas adalah masyarakat yang liberal, transparan dan demokratis. Jika suatu negara memiliki sistem politik yang otoriter, seperti pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, maka konsep perdagangan bebas yang digagas oleh negara-negara maju apabila diterapkan hanya akan menguntungkan kelas “borjuis semu” dan kita terseret semakin menjauh dari cita-cita keadilan ekonomi. Demikian juga halnya dengan industrialisasi, tanpa ditopang oleh sistem politik yang demoktaris juga hanya akan menguntungkan pemilik modal besar yang melakukan kolusi dengan oknum-oknum pejabat negara.
Mazhab Ekonomi
Masalah peranan negara atau pemerintah di bidang perekonomian sudah sejak lama menimbulkan perdebatan ideologis di antara empat aliran utama mazhab ekonomi dunia yaitu laissez faire, sosialisme, liberalisme modern, dan konservatime modern. Namun pertanyaan mendasar yang dipersoalkan adalah peranan seperti apa yang dimainkankan dalam hal kepemilikan dan pengelolaan negara atau pemerintah di bidang ekonomi (Austin Ranney, 1996: 79). Menurut teori kedaulatan negara oleh Jean Bodin dan George Jelinek: ”Kekuasaan tertinggi ada pada negara dan negara mengatur kehidupan anggota masyarakatnya. Negara yang berdaulat melindungi anggota masyarakatnya terutama anggota masyarakat yang lemah”. Dalam hal ini, “teori kedaulatan negara akan berfungsi apabila didukung oleh teori pengayoman dan teori perlindungan” (Soehino, 1996).
Beberapa ahli ekonomi berpandangan bahwa laissez faire sama dengan kapitalisme. Padahal kapitalisme itu sendiri bukanlah ideologi politik, melainkan suatu sistem ekonomi yang didominasi pihak swasta terutama dalam hal cara-cara berproduksi, pendistribusian hasil-hasil produksi, serta pertukaran barang dan jasa (capitalism is “an economic system in which the means of production, distribution dan exchange are privately owned and operated)”. Di belahan dunia barat, laissez faire adalah ideologi politik yang sepenuhnya bersandar pada kapitalisme, yang dalam perkembangannya mereka selalu berusaha agar kapitalisme itu sendiri menjadi sebuah sistem ekonomi. Paham laissez faire lahir di Perancis semasa pemerintahan raja Louis XIV, dan istilah laissez faire pertama kali muncul dalam pertemuan khusus dengan Menteri Keuangan Perancis Jean Baptiste (1619-1683) yang diprakarsai oleh pemerintah. Ketika Menteri Keuangan menanyakan apa yang dapat dibantu oleh pemerintah untuk kepentingan para saudagar, salah seorang di antara mereka menjawab: laissez faire (leave us alone: biarkan kami berusaha sendiri). Sejak itu laissez faire diakui sebagai ideologi yang menghendaki campur tangan pemerintah sekecil mungkin di bidang ekonomi. Dengan demikian jelas bahwa kapitalisme adalah “tangan-tangan politik” yang bekerja untuk kepentingan laissez faire dalam mengelola berbagai kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan bisnis (Austin Ranney, 1996: 81).
Di antara sistem ekonomi yang ada, para penganut paham laissez faire meyakini bahwa kapitalisme adalah sistem ekonomi yang paling baik. Sistem ekonomi kapitalis akan berjalan dengan sendirinya apabila pemerintah hanya: (i) mengurusi penyediaan kondisi pasar bagi persaingan ekonomi yang bebas; (ii) menjaga hukum dan ketertiban; (iii) menjamin legalitas kontrak-kontrak bisnis; (iv) melindungi dan menjaga hak milik pribadi (private property); dan (v) mempertahankan negara dari serangan musuh. Negara atau pemerintah harus membiarkan berlangsungnya persaingan bebas antar sesama pengusaha di lingkungan swasta, sehingga berbagai keputusan dengan sendirinya akan diciptakan oleh pasar dan diatur secara alamiah oleh hukum ekonomi, dan lebih jauh pemerintah tidak perlu membantu mereka yang berhasil ataupun yang gagal dalam menjalankan usaha. Menurut sebagian besar pendukung laissez faire, bahwa dalam pembangunan ekonomi suatu negara, kebijakan yang semestinya dipilih oleh pemerintahnya adalah dengan membiarkan ekonomi sepenuhnya tidak diatur oleh siapapun, kecuali oleh pasar bebas (market discipline). Hal ini berarti bahwa doktrin laissez faire dibawa masuk ke dalam logika ekstrim yang anarkis karena bagi pendukung laissez faire berlaku logika: jika pemerintah yang baik adalah yang sedikit memerintah atau mengatur, maka dapat dipastikan pemerintah yang paling baik adalah pemerintah yang tidak memerintah atau mengatur sama sekali (A. Effendy Choirie, 2003: 24-25).
Dalam perkembangan selanjutnya, laissez faire dipahami sebagai aplikasi dari semua urusan ekonomi yang bersandar kepada doktrin Presiden Amerika Thomas Jefferson: “that government is best which governs least” (pemerintah yang baik adalah yang memerintah atau mengatur sedikit). Slogan laissez faire yang menandai campur tangan negara atau pemerintah di bidang ekonomi, pertama kali dikumandangkan oleh John Locke dan sekelompok ekonom Perancis (disebut kaum physiocrats) pada abad ke-17 dan awal abad ke-18. Namun penjelasan yang paling terkenal dan berpengaruh mengenai laissez faire adalah hasil pemikiran Adam Smith melalui bukunya The Wealth of Nation yang terbit pada tahun 1776. Ekonom Skotlandia dan mahaguru kapitalisme ini seringkali dianggap sebagai tokoh utama yang menentang campur tangan pemerintah dalam segala urusan ekonomi (Robert L. Cord, 1985: 104). Padahal sesungguhnya seluruh argementasi Adam Simth dalam membangun tatanan kelembagaan ekonomi: para pengusaha yang mengejar kepentingan pribadi akan dipaksa sedemikian rupa untuk ikut memajukan kepentingan bersama. Dengan kata lain Adam Smith menyumbangkan hasil pemikirannya yaitu suatu kebijaksanaan ekonomi praktis adalah: bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi seraya menjamin kebebasan setiap pelaku ekonomi (Nathan Rosenberg, 1979: 75 dan bandingkan juga dengan Gregorio S. Miranda, 1979: 12).
Sedangkan sistem ekonomi “liberalisme modern” bertitik tolak dari kritik terhadap liberalisme klasik Adam Smith dan gagasan mereka mengenai ekonomi pasar karena terbukti bahwa hingga menjelang akhir abad ke-19 sistem ekonomi pasar tidak mampu mengatur pasar. Tesis Adam Smith yaitu invisible hand (“tangan-tangan yang tidak kelihatan”) ternyata tidak menunjukkan kinerja yang cemerlang dan persaingan bebas dalam pasar pun berlangsung secara tidak sempurna. Hal ini terjadi karena pelaku ekonomi cenderung memanipulasi pasar, adalah masalah yang sejak dini diperingatkan oleh Adam Smith. Dalam praktiknya ada tendensi terciptanya pasar yang semakin besar bagi kelompok tertentu, dan sebaliknya semakin kecil bagi kelompok lain, sehingga menimbulkan depresi ekonomi dan melahirkan kelompok masyarakat kelas bawah yang miskin dan sengsara. Dengan kata lain, sistem ekonomi klasik (laissez faire) memiliki dampak negatif yang relatif lebih banyak. Oleh sebab itu, sekelompok pemikir mulai mempertanyakan sistem ekonomi liberalisme klasik yang dipandang lebih cenderung menekankan pengertian “bebas dari” (freedom from) campur tangan negara atau pemerintah dalam urusan ekonomi. Kecenderungan ini kemudian disebut sebagai “negative freedom” (kebebasan yang bersifat negatif) karena penekanan terhadap freedom from tersebut justru “memakan” kebebasan itu sendiri. Sebaliknya yang diperlukan adalah sistem ekonomi yang menekankan freedom to (“bebas untuk”) dalam konteks peran negara atau pemerintah di seluruh bidang perekonomian. Dalam perkembangannya kemudian freedom to dikenal sebagai positive freedom (“kebebasan yang bersifat positif”), yang mendorong pemerintah untuk secara serius dan riil memberikan jaminan kebebasan hidup bagi semua lapisan masyarakat. Ideologi (positive freedom) yang dicetuskan oleh Thomas Green pada tahun 1880-an ini selanjutnya dikenal sebagai “liberalisme modern”. Jadi jelas bahwa penganut “liberalisme klasik” mendesak pemerintah keluar dari pasar, sebaliknya “liberalisme modern” memasukkan kembali pemerintah ke dalam pasar agar setiap orang mendapat perlindungan dari sistem ekonomi liberalisme klasik yang adakalanya tidak adil itu. Untuk melindungi hak-hak setiap orang dalam sistem ekonomi, maka liberalisme modern mempromosikan ketentuan tentang upah dan jam kerja, hak berserikat dan berorganisasi, asuransi pengangguran dan kesehatan, serta memberikan kesempatan bagi semua orang untuk meningkatkan keterampilan bekerja melalui pendidikan. Liberalisme semacam ini dikembangkan oleh Woodrow dan Franklin D. Roosevelt di Amerika Serikat pada abad ke-20, dengan tujuan pokok untuk mencapai a free society, suatu “masyarakat yang bebas” (Robert L. Cord, 1985: 105-106).
Franklin D. Roosevelt dan kolega-kolega New Deal-nya berpendapat bahwa liberalisme sejati haruslah menjadi “liberalisme yang positif”. Artinya, jaminan kebebasan yang diberikan oleh negara kepada rakyat untuk berbicara dan memeluk agama masing-masing tidak akan memberikan arti yang positif apabila anggota masyarakat itu sendiri tidak bisa: (i) menghidupi keluarganya; (ii) mendapatkan pendidikan yang baik; dan (iii) mendapatkan jaminan kesehatan yang cukup memadai (Austin Ranney, 1996: 88). Mereka sependapat bahwa proteksi semacam itu harus diberikan dan dijamin oleh negara sepenuhnya sehingga mengarah kepada welfare state (“negara kesejahteraan”), sebagai suatu sistem dimana pemerintah menjamin prasyarat kehidupan minimum warganya secara layak mencakup keadilan mendasar seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan kesejahteraan sosial-ekonomi. Kendati standar persyaratan minimum bagi setiap individu pada dasarnya tidak sama, akan tetapi penganut liberalisme modern pada umumnya menerima premis bahwa negara harus memiliki tanggungjawab sosial-ekonomi atas warga negaranya. Kaum liberalis modern mengembangkan tradisi kebebasan individu dan pilihan bebas dalam hal urusan non-ekonomi. Dengan kata lain, para penganut paham ini menjaga agar intervensi atau campur tangan negara atau pemerintah di bidang moral, agama dan intelektual harus seminimal mungkin. Untuk itu, pemerintah harus memisahkan secara tegas fungsi gereja dan negara (A. Effendy Choirie, 2003: 29-31).
Aliran konservatisme pada dasarnya berurusan dengan upaya pelestarian nilai-nilai dan institusi tradisional. Persoalan pelik yang mereka hadapi adalah berbagai perubahan radikal yang didorong oleh kaum libelaral klasik pada abad ke-19. Penganut aliran konservatisme berkeyakinan bahwa masyarakat harus tetap berjalan sebagaimana adanya. Akan tetapi pemegang kekuasaan adalah kaum bangsawan, bukan kelompok-kelompok bisnis yang baru muncul. Setiap majikan harus dapat menjamin kehidupan sosial para buruh pabrik dan petani, serta kehidupan moral yang dituntun oleh nilai-nilai tradisi dan agama. Hal ini didasari pemikiran bahwa masyarakat yang baik adalah masyarakat yang hidup dengan tradisi kemasyarakatan dan keagamaan. Untuk itu setiap anggota masyarakat harus dapat memahami posisi dan peran masing-masing dalam hierarki sosial, dengan asumsi bahwa setiap individu telah memahami hak dan kewajiban masing-masing, serta berhak untuk turut serta menikmati keuntungan yang diperleh masyarakat. Di Amerika Serikat, gagasan yang dikemukakan Milton Friedman bahwa pasar bebas masih tetap merupakan jalan terbaik dan kebenaran akan doktrin Adam Smith (“dimanapun pemerintah melakukan campur tangan akan mengacaukan banyak hal sehingga menimbulkan masalah”), tidak sedikit kaum konservatisme yang meyakini dan mengikutinya. Lebih lanjut Milton Friedman mengemukakan bahwa pilihan individual akan memberikan eksistensi moral yang lebih baik ketimbang dipilihkan oleh pemerintah, dan bersama Friedrich von Hayek memiliki pandangan yang sama bahwa pemerintah seharusnya mengatur usaha swasta seminimal mungkin atau tidak sama sekali. Di bidang kegiatan ekonomi, pemerintah harus menegaskan aturan-aturan dasar persaingan bebas dengan memperkuat kontrak dan melindungi hak milik pribadi. Dalam hal ini, pemerintah tidak boleh membatasi keuntungan si pemenang dan sebaliknya tidak boleh pula berupaya mengatasi kerugian pihak yang kalah. Menurut padangan kaum konservatif modern, pengusaha yang kreatif akan berkembang seiring dengan tumbuhnya pasar serta munculnya produk-produk baru yang menarik dan bisa mencetak uang. Harapan mereka adalah setiap pengusaha diperbolehkan berusaha secara bebas sehingga bisnis lama dapat berkembang dan sekaligus membangun bisnis baru yang pada gilirannya akan membuka dan menciptakan lapangan kerja baru serta membawa kemakmuran bagi banyak orang. Sebaliknya jika para pengusaha dihambat oleh berbagai ketentuan yang dibuat oleh pemerintah dan dibebani pula dengan pajak yang tinggi akan mengakibatkan penurunan investasi dan produksi secara drastis dan lapangan kerja semakin terbatas. Dengan demikian jelas bahwa kaum konservatif modern tetap menghendaki agar pemerintah tidak membebani pelaku usaha dengan berbagai macam peraturan yang memberatkan, dan mereka mempertimbangkan intervensi pemerintah di bidang intelektual, moral dan agama (A. Effendy Choirie, 2003: 31-33).
Pandangan kaum sosialis tentang kebebasan dan persaingan berbeda dengan aliran lainnya. Karena kebebasan dan persaingan tersebut sangat erat kaitannya dengan struktur sosial secara keseluruhan, maka kebebasan dan persaingan dalam suatu susunan masyarakat yang tidak adil akan mengukuhkan ketidakadilan itu sendiri. Oleh sebab itu negara atau pemerintah tidak bisa tidak harus mengambil peran tertentu secara lebih aktif agar pihak-pihak yang lemah dapat dilindungi dari pihak-pihak yang kuat karena mereka memiliki kekuasaan. Secara moral dan politik, campur tangan pemerintah di bidang ekonomi dapat dibenarkan dan bersifat mutlak agar keadilan dan kesejahteraan bersama dapat diwujudkan bagi semua anggota masyarakat (A. Effendy Choirie, 2003: 27).
Aliran sosialis (sosialisme) adalah sistem ekonomi dan sekaligus juga sebagai ideologi politik. Sebagai sistem ekonomi, sosialisme merupakan lawan dari sistem ekonomi kapitalis. Secara sederhana sosialisme dapat dipahami sebagai suatu sistem ekonomi dengan cara produksi, distribusi serta pertukaran barang dan jasa dimiliki dan dioperasikan oleh publik. Menurut paham kaum sosialis, negara adalah suatu organisasi yang paling representatif, sehingga konsepsi “dimiliki dan dioperasikan oleh publik” artinya kuasa kepemilikan dan operasionalisasi berada di tangan pemerintah atau negara. Sosialisme sebagai ideologi politik, dan dalam kaitannya dengan kontrol di bidang ekonomi, maka penganut paham ini meyakini bahwa negara perlu mengembangkan perencanaan ekonomi dan pengendalian pasar. Hal itu perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya eksploitasi sekelompok orang atas kelompok lain, dan selain itu untuk menjamin berlangsungnya distribusi keadilan dan kesejahteraan bai setiap orang (Austin Ranney, 1996: 81).
Varian dari paham kaum sosialis relatif cukup banyak. Meskipun demikian terdapat karakteristik khas yang mempertautkan masing-masing varian menjadi suatu flatform dasar. (Cariton Rodec, 2000, khususnya Bab VII). Salah satunya yang paling utama adalah penghisapan ekonomi dan ketidakadilan institusi dasar kapitalisme, yaitu hak milik pribadi (private property). Hak milik pribadi berarti kepemilikan yang sah atas aset yang nyata maupun yang tidak nyata oleh perorangan. Menurut pendukung sosialisme, satu-satunya cara untuk melepaskan masyarakat dari penghisapan kapitalis adalah dengan merebut kembali seluruh cara produksi, distribusi dan pertukaran agar bisa dimiliki kembali oleh masyarakat dan dioperasikan pemerintah. Mereka berpendapat bahwa pemerintah yang seharusnya mengambil-alih dengan cara membeli atau menyita. Pengendali tertinggi ekonomi yaitu pemerintah yang seharusnya mendistribusikan barang-barang ekonomi kepada rakyat banyak sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai manusia, bukan karena produktivitas ekonomi mereka sendiri (A. Effendy Choirie, 2003: 27-28).
Pengambilalihan alat-alat produksi oleh kaum sosialis dari tangan kapitalisme dilakukan melalui revolusi. Untuk itu kelas pekerja harus bahu-membahu mengorganisasikan gerakan berskala massif, dengan atau tanpa kekerasan, untuk meruntuhkan kekuasaan politik rezim kaum kapitalis dan menguasai alat-alat produksi yang ada seperti tanah, pabrik dan sebagainya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, revolusi sebagai metode perubahan struktur masyarakat yang dipraktekkan kaum sosialis sebelumnya tidak lagi menjadi satu-satunya cara. Seperti kaum revisionis berpandangan bahwa melalui perjuangan demokratis sebagai metode perlawanan terhadap kaum kapitalis, maka kekuasaan dapat direbut melalui pemilihan umum. Varian yang lain seperti komunisme (sosialisme ilmiah) meyakini bahwa untuk merebut alat-alat produksi serta menghancurkan kaum kapitas hanya dengan revolusi kekerasan, dan pemerintahan diktatur proletariat diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan. Sedangkan sosialisme demokratik melakukannya dengan cara-cara yang demokratis dan damai. Kekuasaan yang diperoleh melalui Pemilu dipergunakan untuk mengontrol pemerintahan demokratis, melakukan adopsi secara damai dan penguatan kebijakan-kebijakan sosialis. Sosialisme ilmiah (scientific sosialism) dikembangkan oleh Karl Marx-Friederich Engels dan Vladimir Illich Ulyanov Lenin di Rusia, sedangkan sosialisme demokratis dikembangkan oleh Eduard Berstein, adalah seorang marxis revisionis dari Jerman (A. Effendy Choirie, 2003: 27-28).
Public Choise dan Demokrasi Ekonomi
Indonesia yang pada masa Orde Baru menerapkan Sistem Ekonomi Pancasila, pada dasarnya mirip dengan sistem kapitalis yang dipratikkan oleh negara-negara Barat di masa awal-awalnya, yaitu “kapitalisme primitif”, yang sudah sejak lama ditinggalkan oleh negara-negara penganutnya sendiri. Dalam kapitalisme primitif terjadi penghambatan mekanisme pasar yang disengaja sehingga berbagai dimensi institusi non-pasar menjadi hilang karena dinafikan dan disubordinasikan ke dalam institusi pasar. Dengan kata lain, di dalam masyarakat Sistem Ekonomi Pancasila ini tidak memberikan tempat yang cukup bagi kekayaan khasanah institusi non-pasar yang sesungguhnya memiliki arti dan andil penting dalam menghidupkan dan membangun institusi pasar itu sendiri. Para teknokrat dan penguasa Orde Baru yang membidani lahirnya Sistem Ekonomi Pancasila ini memiliki kekuasaan yang begitu besar dan kuat, sehingga rakyat dan lembaga perwakilannya sama sekali tidak berdaya untuk mengontrol berbagai kebijakan ekonomi-politik yang digulirkan pemerintah pada masa itu. Meskipun terlihat adanya pertumbuhan dengan bekerjanya pasar secara efektif, namun “perburuan rente”, distorsi dan praktik monopoli begitu marak terjadi untuk kepentingan segelintir orang. Praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang terjadi antara pelaku usaha swasta dan teknokrat berwajah liberal serta penguasa otoriter yang melahirkan sistem kapitalisme primitif itu berdampak negatif, antara lain menimbulkan biaya sosial yang tinggi (beban berat) bagi rakyat, dan dampak negatif tersebut secara inheren tidak dapat diperbaiki oleh sistem itu sendiri. Fakta memang menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan, namun karena menghilangnya institusi-institusi non-pasar itu membuat tingkat kesejahteraan dalam masyarakat menjadi tidak proporsional. Justru sebaliknya yang terjadi adalah penindasan terhadap rakyat banyak oleh konglomerat dan penguasa. (Lihat Didik J. Rachbini, 2001: 1-3). Dengan kata lain, sistem ekonomi kapitalisme primitif yang diterapkan semasa pemerintahan Orde Baru tersebut telah menciptakan suatu keadaan perekonomian mencemaskan banyak orang di Indonesia, yaitu yang kaya bertambah kaya dan yang miskin hidupnya semakin sengsara.
Dalam hal menentukan sistem ekonomi yang akan dipilih, bukanlah berarti memilih salah satu dari empat sistem ekonomi dimaksud. Ciri-ciri dasar kapitalisme, seperti “institusi pasar”, adalah ciri-ciri universal dan merupakan realitas sosial yang terdapat pada masyarakat manapun di berbagai belahan dunia, jauh sebelum kapitalisme itu sendiri muncul dan didaulat sebagai sistem ekonomi yang paling baik menurut penganutnya di Eropa Barat dan Amerika Utara. Mikhail Gorbachev (1991) pernah menyatakan bahwa “pasar bukan merupakan produk kapitalisme, melainkan temuan dari sejarah peradaban umat manusia sejak lama”. Dengan demikian sistem ekonomi pasar yang diterapkan di Indonesia tidak perlu dipersoalkan dan disamakan dengan sistem kapitalisme karena sudah sejak lama aktivitas ekonomi sehari-hari di Indonesia didasarkan pada mekanisme pasar. Sistem ekonomi yang sedang berlangsung sekarang merupakan sistem yang relatif sesuai dengan perekonomian Indonesia, namun unsur-unsur sosial yang lebih manusiawi dalam sistem ekonomi pasar tersebut perlu dan segera harus dikembangkan. Dalam perekonomian modern yang sudah sedemikian kompleks seperti sekarang ini, campur tangan pemerintah terhadap kegiatan ekonomi merupakan sesuatu hal yang mutlak. Tugas pemerintah atau para birokrat tidak lagi hanya mengurusi bidang sosial dan politik, tetapi juga mengurusi masalah-masalah perekonomian. Sulit dibayangkan bagaimana jadinya sistem dan mekanisme perekonomian modern tanpa adanya peranan pemerintah. Banyak ahli ekonomi berpandangan sama bahwa negara atau birokrasi adalah entitas kelembagaan yang paling dominan dan sangat berpengaruh dalam kehidupan ekonomi suatu negara, karena ditangan negaralah tergenggam kewenangan politik dan sumber-sumber daya ekonomi yang sangat besar. Campur tangan negara atau pemerintah ini semakin dirasakan urgen bila sudah menyangkut keadilan. Untuk itu pemerintah diminta bertindak tegas dan bijaksana dalam membuat peraturan yang pada akhirnya untuk melindungi masyarakat banyak. Dengan kata lain, dunia bisnis tidak pernah bebas dari rambu-rambu aturan hukum. Namun perlu dicatat bahwa dunia bisnis tidak bisa diikat atau dibelenggu dengan peraturan perundang-undangan yang rumit karena pada gilirannya akan mematikan kegiatan bisnis itu sendiri (Didik J. Rachbini 2002: 26-31 dan 113-127).
Ketika pemerintah menerapkan suatu kebijakan dan apabila kebijakan tersebut tidak berjalan efektif di dalam masyarakat, seringkali pemerintah menuduh masyarakat telah melakukan kesalahan karena masyarakat tidak dapat mengikuti dan tidak memberikan respon yang positif terhadap kebijakan tersebut. Tuduhan pemerintah seperti ini bisa terjadi karena dua hal mendasar: (i) pemerintah melihat kebijakannya tersebut hanya dari sudut pandangnya sendiri; dan (ii) pemerintah belum sepenuhnya mengakomodir keinginan dan kepentingan individu, berbagai kelompok dan organisasi sosial dalam masyarakat yang lebih luas. Ilmu ekonomi-politik dalam dua dekade terakhir ini menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan setelah lahirnya perspektif teori dengan aktor individual, yang rasional. Setiap individu selalu berusaha untuk mencapai kepentingan melalui Rational Choise atau Public Choise (Pilihan Publik) yang berupaya menjembatani ilmu ekonomi dengan kepentingannya fenomena-fenomena dan kelembagaan non-pasar di luar bidang ekonomi seperti bidang sosial, politik dan budaya. Melalui teori ini berusaha dipahami realitas politik dan bentuk-bentuk sikap sosial lainnya dalam kerangka analisis, sehingga paradigma baru ini boleh dikatakan lebih bersifat “liberal-individual”, akan tetapi tidak dapat berkembang tanpa memperhatikan realitas sosial yang menjadi basisnya. Dengan cara pandang seperti ini, institusi sosial dan politik dapat dijelaskan dengan paradigma yang relatif sama sehingga satu sama lain saling memperkuat, tidak saling bertentangan dan juga tidak saling melemahkan. Dalam perspektif Public Choise, masyarakatadalah bagian interaktif dari kekuasaan, sebagai bagian dari keseimbangan sistem dan isntitusi politik. Dengan demikian teori Public Choise ini dapat menjelaskan fenomena kekuasaan (politik) dalam konteks “pertukaran”, bukan pemaksaan atau pemanfaatan kekuasaan itu sendiri. Hubungan pemerintah dan rakyatnya bersifat rasional. Keduanya saling memerlukan dan bertukar satu sama lain yang diwujudkan dalam bentuk konstitusi untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan para pihak terkait (Didik J. Rachbini, 2002: 12 dan 35).
Muhammad Hatta yang merumuskan Pasal 33 UUD 1945 terlahir dalam situasi dan kondisi bangsa yang sedang berjuang meraih kemerdekaan, bukan hadir di tengah kebebasan mimbar akademik seperti sekarang ini. Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan garis besar perekonomian nasional itu memuat keinginan yang kuat untuk merombak struktur perekonomian masyarakat Indonesia, dari sistem ekonomi kolonial yang menindas rakyat menjadi sistem ekonomi nasional yang mensejahterakan rakyat; dari sistem ekonomi yang sangat subordinatif menuju perekonomian yang berlandaskan asas-asas demokrasi (demokrasi ekonomi). Cita-cita untuk dapat merombak struktur ekonomi nasional tersebut dimaknai oleh Muhammad Hatta sebagai kehendak mewujudkan sistem sosialisme Indonesia dengan sistem ekonomi yang menekankan kebersamaan dan kekeluargaan, namun tetap memberi tempat bagi artikulasi individualitas, karena keinsyafan akan harga diri. Dalam hal ini, Muhammad Hatta menolak ekonomi pasar yang bertumpu pada persaingan bebas (survival of the fittest), namun pada saat yang sama juga menampik etatisme negara. Idealnya politik pemerintahan dan politik ekonomi nasional yang bermuara pada demokrasi politik dan ekonomi dirumuskan sebagai berikut: ”Pendeknya cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian rakyat, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat. Pendek kata rakyat itu daulat alias raja atas dirinya. Tidak lagi orang seorang atau sekumpulan orang pandai atau segolongan kecil saja yang memutuskan nasib rakyat dan bangsa, melainkan rakyat sendiri. Inilah arti kehidupan rakyat! Inilah suatu dasar demokrasi atau kerakyatan yang seluas-luasnya. Tidak saja dalam hal politik, melainkan juga dalam hal ekonomi dan sosial ada demokrasi; keputusan dengan mufakat rakyat yang banyak (Sri-Edi Swasono, 1992: xviii).
Dalam Daulat Rakyat yang ditulisnya pada tahun 1933, Bung Hatta menyampaikan pemikirannya tentang bagaimana mengelola perekonomian rakyat Indonesia dalam negara Indonesia merdeka sebagai berikut: “Suatu soal yang tidak boleh luput dari perhatian kita di waktu sekarang ialah keadaan ekonomi rakyat kita. Bahwa penghidupan rakyat bertambah lama bertambah sempit, hingga penghasilan bertambah lama bertambah turun, pengangguran bertambah lama bertambah banyak dan gaji atau upah bertambah lama bertambah turun…Keadaan ini hanya dapat diperbaiki berangsur-angsur dangan memberi susunan kepada produksi dan konsumsi rakyat, pendeknya dengan mengadakan koperasi produksi dan koperasi konsumsi dan dibantu dengan koperasi kredit…Yang sanggup mengobati adalah rakyat sendiri. Dan pokok segala usaha adalah kemauan tetap. Kemauan itulah yang harus kita bangkitkan. Ini dasarnya ‘self-help’ yang senantiasa menjadi buah bibir kita” (Lembaga Pengkajian Ekonomi Pancasila, 1982: 49).
Sedangkan dalam tulisannya yang berjudul “Cita-cita Koperasi Dalam Pasal 33 UUD 1945”, Bung Hatta mengatakan bahwa pengertian asas kekeluargaan dalam Pasal 33 tersebut adalah koperasi. Asas kekeluargaan adalah suatu istilah yang diterapkan di Taman Siswa, untuk menunjukkan bagaimana guru dan murid-murid yang tinggal padanya hidup sebagai suatu keluarga. Begitu pulalah hendaknnya corak koperasi di Indonesia, dimana hubungan antara anggota-anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan orang-orang yang bersaudara yang merupakan satu keluarga (Sri-Edi Swasono, 1987: 16). Keinginan Bung Hatta agar koperasi berperan dalam sistem perekonomian nasional berdasarkan pemikiran bahwa prinsip-prinsip koperasi sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Dalam koperasi, hubungan antara anggota kooperasi satu sama lain harus mencerminkan orang-orang bersaudara (sekeluarga). Rasa solidaritas dipupuk dan diperkuat dengan cara setiap anggota dididik menjadi orang-orang yang mempunyai individualita (Dilear Noer, 1990: 227-228), yang selalu menyadari harga dirinya. Dengan kata lain, setiap anggota koperasi harus selalu menyadari, bahwa adanya orang seorang adalah karena adanya masyarakat. Setiap anggota kooperasi harus mempunyai rasa tanggung jawab moril dan sosial karena apabila tanggung jawab moril dan sosial tidak ada, maka kooperasi tidak akan tumbuh dan tidak akan membuahkan hasil (Mohammad Hatta, 1980: 27-28).
Dengan mengacu kepada penjelasan Pasal 33 UUD 1945 diketahui bahwa ayat 1, 2 dan 3 Pasal 33 UUD 1945 ini pada dasarnya merupakan landasan dari Demokrasi Ekonomi atau lebih populer dengan istilah Sistem Ekonomi Kerakyatan, adalah suatu sistem perekonomian yang mengutamakan peningkatan partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses penyelenggaraan perekonomian. Dengan demikian maka dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan ini setiap anggota masyarakat tidak hanya diperlakukan sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek yang memiliki hak untuk berpartisipasi secara langsung dalam penyelenggaraan perekenomian dan sekaligus turut serta mengawasi penyelenggaraannya. Hal ini secara tidak langsung mengemukakan dijaminnya campur tangan negara dalam penyelenggaraan perekonomian sebagaimana secara tegas dinyatakan dalan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, namun dalam implementasinya ditafsirkan secara keliru oleh banyak pihak (Revrisond Baswir, 2003: 213).
Pada kesempatan lain Bung Hatta menegaskan kembali pengertian usaha bersama atas asas kekeluargaan seperti dimaksud dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 sebagai berikut: “Usaha bersama atas asas kekeluargaan ialah koperasi, seperti yang dipahamkan dalam sosialisme Indonesia. Pasal 33 UUD membagi pekerjaan membangun ekonomi masyarakat antara koperasi dan negara. Koperasi membangun dari bawah, mengajak orang banyak bekerja sama untuk menyusun dasar-dasar kemakmuran rakyat. Usaha yang besar-besar diselenggarakan oleh negara. Dikuasai oleh negara tidak berarti, bahwa pemerintah sendiri menjadi pengusaha dengan segala birokrasi yang ada padanya. Pemerintah menetapkan politik perekonomian, berdasarkan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pekerjaan dapat diserahkan kepada badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab kepada pemerintah, yang kerjanya dikontrol oleh negara” (Mohammad Hatta, dalam Sri-Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (ed), Jakarta: 1992: 150).
Penutup
Setiap negara-bangsa yang eksis di atas permukaan bumi ini dapat membangun sistem ekonominya sendiri berdasarkan ciri-ciri dan norma-norma sosial yang berlaku secara universal tanpa harus mencemaskan bayang-bayang empat sistem ekonomi besar dunia, yaitu laissez faire, sosialisme, liberalisme modern dan konservatieme modern. Karena tidak ada satupun ketentuan yang mengharuskan untuk menganut salah satu dari empat ideologi besar tersebut, maka dalam hal menentukan sistem ekonomi mana yang akan dipilih bukan berarti (harus) memilih salah satu diantaranya. Idealnya sistem ekonomi nasional kita dapat dikembangkan oleh tiga pelaku ekonomi utama yaitu koperasi, swasta dan negara sebagaimana yang telah digagas dan dirumuskan oleh Bung Hatta. (*)
Disusun oleh: Edi Nasution
Gandoang, 4 Januari 2008
mandailingekspresonline.blog.spot.com
ReplyDeleteTerima kasih, tapi pengertian "mandailingekspresonline.blog.spot.com" itu apa ya?
ReplyDelete